Saleema Institute
FOR DEVELOPMENT OF ISLAMIC ACCOUNTING AND AUDITING (SIDIAA)
"Konsultansi dan Training Akuntansi, Audit, Keuangan, Perbankan, Leadership, Kinerja dan Bisnis Syariah"BAB V
LAPORAN KEUANGAN SYARIAH
1. PENDAHULUAN
Selayaknya organisasi, entitas syariah juga harus menyusun laporan keuangan pada akhir periode akuntansinya. Menurut PSAK No. 101 (2007) telah diatur hal-hal yang terkait dengan penyajian laporan keuangan syariah yang secara lengkap berikut ini.
a. Tujuan Laporan Keuangan
Laporan keuangan adalah suatu penyajian terstruktur dari posisi keuangan dan kinerja keuangan dari suatu entitas syariah. Tujuan laporan keuangan untuk tujuan umum adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan, kinerja dan arus kas entitas syariah yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan –keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas penggunaan sumber- sumber daya yang dipercayakan kepada mereka . dalam rangka mencapai tujuan tersebut, suatu laporan keuangan menyajikan informasi mengenai entitas syariah yang meliputi:
a) Aset;
b) Kewajiban;
c) Dana syirkah temporer;
d) Ekuitas;
e) Pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian;
f) Arus kas;
g) Dana zakat; dan
h) Dana kebajikan.(paragraf 8, PSAK no. 101, 2007)
Dapat dijelaskan di sini, bahwa entitas syariah meyajikan informasi keuangannya sedikit berbeda dengan entitas konvensional, yaitu dalam hal melaporkan informasi tentang dana syirkah temporer, dimana pos ini tidak termasuk kewajiban dan juga ekuitas. Pos ini mempunyai klasifikasi tersendiri karena pos ini adalah pos yang didasarkan pada akad Mudharabah atau Investasi Tidak Terikat. Dalam akad mudharabah berlaku ketentuan bagi hasil apabila pengelola dana memperoleh laba sedangkan apabila pengelola dana menderita kerugian maka kerugian ditanggung pemilik modal, sehingga pengelola dana tidak mempunyai kewajiban untuk mengembalikan dana mudharabah.
Siapakah yang harus menyusun dan menyajikan laporan keuangan syariah? Hal ini tidak berbeda dengan entitas konvensional bahwa yang bertanggungjawab terhadap penyusunan dan penyajian laporan keuangan syariah adalah manajemen entitas syariah. (paragraf 9, PSAK no. 101, 2007).
b. Komponen Laporan Keuangan
Laporan keuangan entitas syariah yang lengkap terdiri dari komponen-komponen berikut ini:
a) Neraca;
b) Laporan Laba Rugi;
c) Laporan Arus Kas;
d) Laporan Perubahan Ekuitas;
e) Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat;
f) Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan;
g) Catatan atas Laporan Keuangan.(paragraph 11, PSAK NO. 101, 2007)
Jika entitas syariah merupakan lembaga keuangan maka selain komponen laporan keuangan yang diuraikan dalam paragraph 11, entitas syariah tersebut juga harus menyajikan komponen laporan keuangan tambahan yang menjelaskan karakteristik utama entitas tersebut jika substansi informasinya belum tercakup dalam paragraf 11.
Komponen tambahan dan penyajian pos-pos laporan yang mencerminkan karakteristik khusus untuk industry teertentu akan diatur dalam lampiran Pernyataan ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Apabila entitas syariah yang belum melaksanakan fungsi social secara penuh, entitas syariah tersebut tetap harus menyajikan komponen laporan keuangan paragraph 11e) dan f) yaitu Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat; dan Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan. (paragraph 12,13,14 PSAK no. 101, 2007).
2. PERTIMBANGAN MENYELURUH
Pertimbangan menyeluruh yang harus dilaksanakan oleh entitas syariah dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan syariah meliputi: penyajian secara wajar, kebijakan akuntansi, kelangsungan usaha, dasar akrual, materialitas dan agregasi, saling hapus (offsetting), dan informasi komparatif. Berikut ini PSAK no. 101 (2007) mengatur hal-hal tersebut.
a. Penyajian Secara Wajar
Laporan keuangan harus menyajikan secara wajar posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas syariah dengan menerapkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan secara benar disertai pengungkapan yang diharuskan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dalam Catatan atas Laporan Keuanga. Informasi lain tetap diungkapkan untuk menghasilkan penyajian yang wajar walaupun pengungkapan tersebut tidak diharuskan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan.(paragraph 16, PSAK no. 101, 2007).
Apabila Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan belum mengatur masalah pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan dari suatu transaksi atau peristiwa, maka penyajian secara wajar dapat dicapai melalui pemilihan dan kebijakan akuntansi sesuai paragraph 20 PSAK no. 101, serta menyajikan jumlah yang dihasilkan sedemikian rupa sehingga memberikan informasi yang relevan, andal, dapat dibandingkan, dan dapat dipahami. (paragraph 17, PSAK no. 101, 2007).
b. Kebijakan Akuntansi
Dalam penyusunan dan penyajian laporan keuangan syariah, diperlukan kebijakan akuntansi tertentu yang terkait dengan traksaksi dan pos-pos di laporan keuangan agar menghasilkan informasi yang dapat diandalkan dan relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi para pemakai laporan keuangan tersebut.
Kebijakan akuntansi adalah prinsip khusus, dasar, konvensi, peraturan, dan praktik yang diterapkan entitas syariah dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan. (paragraph 21, PSAK no. 101, 2007). Atas kebijakan akuntansi ini, PSAK no. 101 (2007) telah mengaturnya berikut ini.
Manajemen memilih dan menerapkan kebijakan akuntansi agar laporan keuangan memenuhi ketentuan dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. Jika belum diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan, maka manajemen harus menetapkan kebijakan untuk memastikan bahwa laporan keuangan menyajikan informasi:
a) Relevan terhadap kebutuhan para pengguna laporan untuk pengambilan keputusan; dan
b) Dapat diandalkan , dengan pengertian:
(i) Mencerminkan kejujuran penyajian hasil dan posisi keuangan entitas syariah;
(ii) Menggambarkan substansi ekonomi dari suatu kejadian atau transaksi dan tidak semata-semata bentuk hukumnya;
(iii) Netral yaitu bebas dari keberpihakan;
(iv) Mencerminkan kehati-hatian; dan
(v) Mencakup semua hal yang material. (paragraph 20, PSAK no. 101, 2007).
Apabila belum ada pengaturan oleh PSAK, maka manajemen menggunakan pertimbangannya untuk menetapkan kebijakan akuntansi yang memberikan informasi yang bermanfaat bagi pengguna laporan keuangan. Dalam melakukan pertimbangan tersebut menajemen memperhatikan:
a) Persyaratan dan pedoman PSAK yang mengatur hal-hal yang mirip dengan masalah terkait;
b) Definisi, criteria pengakuan dan pengukuran asset, kewajiban, dana syirkah temporer, penghasilan dan beban yang ditetapkan dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah; dan
c) Pernyataan yang dibuat oleh badan pembuat standar lain dan praktik industry yang lazim sepanjang konsisten dengan huruf a) dan b) paragraph ini. (paragraph 22, PSAK no. 101, 2007).
c. Kelangsungan Usaha
Dalam penyusunan laporan keuangan, manajemen harus menilai (assessment) kemampuan kelangsungan usaha entitas syariah. Laporan keuangan harus disusun berdasarkan asumsi kelangsungan usaha, kecuali manajemen bermaksud untuk melikuidasi atau menjual, atau tidak mempunyai alternatif selain melakukan hal tersebut. Dalam penilaian kelangsungan usaha, ketidakpastian yang bersifat material yang terkait dengan kejadian atau kondisi yang bias menyebabkan keraguan atas kelangsungan usaha harus diungkapkan. Apabila laporan keungan tidak disusun berdasarkan asumsi kelangsungan usaha, maka kenyataan tersebut harus diungkapkan bersama dengan dasar lain yang digunakan dalam penyusunan laporan keuangan serta alas an mengapa asumsi kelangsungan usaha entitas syariah tidak dapat digunakan. (paragraph 23, PSAK no. 101, 2007).
d. Dasar Akrual
Entitas syariah harus menyusun laporan keuangan atas dasar akrual, kecuali Laporan Arus Kas dan penghitungan pendapatan untuk tujuan pembagian hasil usaha. Dalam penghitungan pembagian hasil usaha didasarkan pada pendapatan yang telah direalisasikan menjadi kas (dasar kas). (paragraph 25, PSAK no. 101, 2007).
Dapat dijelaskan di sini, bahwa laporan keuangan selain Laporan Arus Kas dan penghitungan bagi hasil, PSAK mengharuskan menyajikan berdasarkan basis akrual. Untuk pendapatan diakui pada saat terjadinya transaksi bukan pada saat pendapatan telah direalisasikan menjadi kas. Sedangkan untuk penghitungan bagi hasil PSAK mengaturnya dengan dasar kas (cash basis). Untuk keperluan ini, PSAK no. 101 mengaturnya dengan sebuah laporan keuangan tersendiri yang disebut dengan Laporan Rekonsiliasi Pendapatan dan Bagi Hasil.(bentuk laporan terdapat di bagian belakang bab ini).
Ada praktisi entitas syariah yang berpendapat bahwa pengakuan pendapatan sebaiknya juga menggunakan dasar kas dengan pertimbangan kepastian kinerja setelah kas dapat direalisasikan menjadi kas. Dengan demikian celah penyelewengan dasar akrual untuk kepentingan entitas yang cenderung menguntungkan entitas tetapi merugikan pembaca laporan keuangan dapat diminimalisir. Dalam praktik, dasar akrual dapat digunakan untuk manajemen laba, seperti perataan laba (income smoothing). Apabila menggunakan dasar kas dalam pengakuan pendapatan, maka secara teknis kemungkinan akan terjadi penggeseran pengakuan pendapatan di tahun berikutnya, tetapi di tahun berjalan juga ada kas masuk dari penerimaan pelunasan piiutang pendapatan dari tahun sebelumnya. Apabila kita berikan contoh bagaimana cara pengakuan pendapatan menurut akrual dan dasar kas, maka secara teknis jurnal tidak terjadi kesulitan. Berikut ini ilustrasinya.
Dasar akrualpengakuan pendapatan
Penjualan kredit, akan dicatat :
Debit: Piutang usaha; Rp xx --
Kredit: Penjualan; -- Rp xx
Debit: Harga Pokok Penjualan; Rp xx --
Kredit: Persediaan Barang Dagang. -- Rp xx
Penerimaan pelunasan piutang usaha, akan dicatat:
Debit: Kas; Rp xx --
Kredit: Piutang Usaha. -- Rp xx
Sedangkan pada dasar kas pengakuan pendapatan, yang memenuhi Al Baqarah:282 dan Surat Luqman:34, transaksi tersebut dapat dicatat:
Debit: Piutang Usaha; Rp xx --
Kredit: Persediaan Barang Dagang; -- Rp xx
Kredit: Laba tangguhan -- Rp xx
Penerimaan pelunasan piutang usaha, akan dicatat:
Debit : Kas Rp xx --
Kredit : Piutang Usaha -- Rp xx
Debit : Harga Pokok Penjualan Rp xx --
Debit : Laba tangguhan Rp xx --
Kredit : Penjualan. -- Rpxx.
Mengapa dalam dasar kas piutang usaha juga dicatat? Hal ini didasarkan pada Surat Al Baqarah, ayat 282, yang mewajibkan melakukan pencatatan atas transaksi (muamalah) yang tidak tunai (kredit) yang telah ditentukan waktunya. Jadi, dari segi teknis penjurnalan, baik dasar akrual maupun dasar kas tidak mengalami kesulitan sama sekali, hanya saja kemungkinan perbedaan jumlah pendapatan yang diakui pada tahun berjalan antara dasar akrual dan dasar kas. Untuk yang lebih memilih dasar kas dalam pengakuan pendapatan sering didasarkan pada asumsi dasar ‘konservatisme’ dan surat Lukman, ayat 34, yang menyatakan bahwa ’untuk masa yang akan datang manusia tidak tahu secara pasti akan hasil usaha yang mereka usahakan (dalam usaha apapun)’, dan ini sesuai dengan kenyataan bahwa di waktu yang akan datang tidak seorangpun yang tahu dengan pasti hasil usaha yang dikerjakannya, termasuk kapan manusia akan meninggal dan di mana mereka akan meninggal dan dikuburkannya.
e.Konsistensi Penyajian
Penyajian dan klasifikasi pos-pos dalam laporan keuangan antar periode harus konsisten , kecuali:
a) Terjadi perubahan yang signifikan terhadap sifat operasi entitas syariah atau perubahan penyajian akan menghasilkan penyajian yang lebih tepat atas suatu transaksi atau peristiwa; atau
b) Perubahan tersebut diperkenankan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan atau Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. (paragraph 26, PSAK no. 101, 2007).
f. Materialitas dan Agregasi
Pos-pos yang material disajikan terpisah dalam laporan keuangan sedangkan yang tidak material digabungkan dengan jumlah yang memiliki sifat atau fungsi yang sejenis. (paragraph 28, PSAK no. 101, 2007). Dapat dijelaskan di sini, informasi dianggap material jika dengan tidak diungkapkannya informasi tersebut dapat mempengaruhi pengguna laporan keuangan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Untuk menentukan materialitas suatu pos maka besaran dan sifat unsur tersebut harus dianalisis dimana masing-masing dapat menjadi faktor penentu.
Sebagai contoh sederhana mengenai materialitas adalah seperti berikut ini. Dalam perhitungan Kas harian oleh kasir, yaitu mencocokkan antara uang kas yang diterima secara fisik dan catatan dalam cash register, terdapatlah angka, misalnya, kas tunai fisik yang diterima = Rp 5.750.500,- sedangkan menurut cash register tercatat Rp 5.750.000,-. Berdasarkan perbanidngan ini terdapat selisih kas sebesar Rp 500.—yang melebihi catatan. Apakah Rp 500,-- sebagai selisih ini dapat dikatakan material? Saya kira, jumlah Rp 500,- bila dibandingkan dengan catatan kas sebesar Rp 5.750.000,- adalah tidak material, karena dilihat dari % selisih tersebut tidak ada 1%, bahkan 1 per mil pun tidak ada. Jadi, materialitas memerlukan standar selisih yang disepakati bersama, misalnya, selisih 2% ke atas dianggap materialitas, tetapi kalau di bawah prosentasi tersebut di anggap tidak material. Apabila selisih Rp 500,- yang dianggap tidak material bila tidak dilaporkan dalam laporan keuangan tidak akan mempengaruhi keputusan yang akan diambil oleh pembacanya. Jadi, materialitas memerlukan perbandingan dan tolok ukur kuantitatif.
g. Saling Hapus (Offsetting)
Asset, kewajiban, dana syirkah temporer, penghasilan dan beban disajikan secara terpisah, kecuali saling hapus diperkenankan dalan Pernyataan atau Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan. (paragraph 30, PSAK no. 101, 2007). Dapat dijelaskan di sini, bahwa asset dan kewajiban disajikan secara terpisah dan tidak diperkenankan saling hapus. Sebagai contoh, entitas syariah memiliki Piutang Murabahah di sisi asetnya dan juga mempunyai Utang Murabahah di sisi kewajibannya, maka antara Piutang Murabahah dan Utang Murabahah tidak diperbolehkan untuk saling hapus. Misal, Piutang Murabahah Rp 10.000.000,-- sedangkan Utang Murabahah Rp 6.000.000,- maka Piutang Murabahah neto =Rp 4.000.000,--. Saling hapus seperti ini tidak diperbolehkan oleh PSAK ini karena informasinya akan menyesatkan pembaca laporan keuangan entitas syariah tersebut. Dengan saling hapus ini pembaca akan dapat memperoleh pemahaman bahwa Piutang Murabahah entitas tersebut adalah Rp 4.000.000,- sementara entitas tidak memiliki Utang Murabahah. Jadi, di sini terjadi kehilangan informasi penting, yaitu entitas tidak memiliki Utang Murabahah padahal pada kenyataannya entitas memiliki Utang Murabahah Rp 6.000.000,--. Asset yang dilaporkan sebesar nilai, setelah dikurangi dengan penyisihan, tidak termasuk kategori saling hapus.
h. Informasi Komparatif
Pada paragraph 33 (PSAK No.101,2007) dijelaskan, bahwa informasi kuantitatif harus diungkapkan secara komparatif dengan periode sebelumnya, kecuali dinyatakan lain oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. Informasi komparatif yang bersifat naratif dan deskriptif dari laporan keuangan periode sebelumnya diungkapkan kembali apabila relevan untuk pemahaman laporan keuangan periode berjalan.
3. STRUKTUR DAN ISI
a. Identifikasi Laporan Keuangan
Paragraph 38 (PSAK No.101,2007) mengatur, bahwa laporan keuangan diidentifikasikan dan dibedakan secara jelas dari informasi lain dalam dokumen publikasi yang sama. Selanjutnya, Laporan keuangan sering disajikan sebagai bagian dari suatu dokumen seperti laporan tahunan atau prospectus. PSAK hanya berlaku untuk laporan keuangan dan tidak berlaku untuk informasi lain yang disajikan dalam laporan tahunan atau dokumen lainnya. Oleh karena itu, sangat penting bagi pengguna untuk mampu membedakan laporan keuangan yang disusun seseuai dengan PSAK dari informasi lain yang juga bermanfaat bagi pengguna laporan keuangan tetapi tidak perlu disjikan sesuai dengan PSAK. (paragraph 39,PSAK No.101,2007)
Setiap komponen laporan keuangan harus diidentifikasi secara jelas. Di samping itu, informasi berikut ini disajikan dan diulangi, bilamana perlu, pada setiap halaman laporan keuangan:
a) Nama entitas syariah pelapor atau edentitas lain;
b) Cakupan laporan keuangan, apakah mencakup hanya satu entitas atau beberapa entitas;
c) Tanggal atau periode yang dicakup oleh laporan keuangan, mana yang lebih tepat bagi setiap komponen laporan keuangan;
d) Matauang pelaporan; dan
e) Suatu angka yang digunakan dalam penyajian laporan keuangan. (paragraph 40, PSAK No.101,2007)
b. Periode Laporan
Apakah laporan keuangan entitas syariah harus disajikan secara enam bulanan, tahunan, atau tiga bulanan? PSAK No.101,2007, telah mengatur tentang periode laporan keuangan entitas syariah berikut ini. Laporan keuangan setidaknya disajikan secara tahunan. Apabila tahun buku entitas syariah berubah dan laporan keuangan tahunan disajikan untuk periode yang lebih panjang atau pendek daripada periode satu tahun, maka sebagai tambahan terhadap periode cakupan laporan keuangan, entitas syariah harus mengungkapkan:
a) Alas an penggunaan periode pelaporan selain periode satu tahunan; dan
b) Fakta bahwa jumlah komparatif dalam Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas, Laporan Arus Kas, Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Zakat, Laporan Sumber dan Penggunaan Dana Kebajikan, serta catatan yang terkait tidak dapat diperbandingkan.(paragraph 42).
4. NERACA
Ketentuan mengenai Pembagian Lancar dengan Tidak Lancar dan Jangka Pendek dengan Jangka Panjang. Paragraph-paragraph berikut ini mengatur tentang pembagian tersebut.
Entitas syariah menyajikan asset lancer terpisah dari asset tidak lancer dan kewajiban jangka pendek terpisah dari kewajiban jangka panjang kecuali untuk industry tertentu yang diatur dalam Standar Akuntansi Keuangan khusus. Asset lancer disajikan menurut ukuran likuiditas sedangkan kewajiban disajikan menurut urutan jatuh temponya. Entitas syariah harus mengungkapkan informasi mengenai jumlah setiap asset yang akan diterima dan kewajiban yang akan dibayarkan sebelum dan sesudah 12 (dua belas) bulan dari tanggal neraca. (paragraph 44-45, PSAK No.101,2007)
a. Aset Lancar
Suatu asset diklasifikasikan sebagai asset lancar, jika asset tersebut:
a) Diperkirakan akan direalisasi atau dimiliki untuk dijual atau digunakan dalam jangka waktu siklus operasi normal entitas syariah; atau
b) Dimiliki untuk diperdagangkan atau untuk tujuan jangka pendek dan diharapkan akan direalisasi dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan dari tanggal neraca; atau
c) Berupa kas atau setara kas yang penggunaannya tidak dibatasi.
Asset yang tidak termasuk kategori tersebut di atas diklasifikasikan sebagai asset tidak lancer. (paragraph 47, PSAK No.101,2007)
b. Kewajiban Jangka Pendek
Suatu kewajiban diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka pendek, jika:
a) Diperkirakan akan diselesaikan dalam jangka waktu siklus normal operasi entitas syariah; atau
b) Jatuh tempo dalam waktu 12 (dua belas) bulan dari tanggal neraca.
f) Semua kewajiban lainnya harus diklasifikasikan sebagai kewajiban jangka panjang. (paragraph 49, PSAK No.101,2007)
c. Informasi yang Disajikan dalam Neraca
Neraca entitas syariah disajikan sedemikian rupa yang menonjolkan berbagai unsur posisi keuangan yang diperlukan bagi penyajian secara wajar. Neraca, minimal mencakup pos-pos berikut:
a) Kas dan setara kas;
b) Asset keuangan;
c) Piutang usaha dan piutang lainnya;
d) Persediaan;
e) Investasi yang diperlakukan menggunakan metode ekuitas;
f) Asset tetap;
g) Asset tidak berwujud;
h) Hutang usaha dan hutang lainnya;
i) Hutang pajak;
j) Dana syirkah temporer;
k) Hak minoritas; dan
l) Modal saham dan pos ekuitas lainnya.
g) Pos, judul, dan sub-jumlah lain disajikan dalam neraca apabila diwajibkan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan atau apabila penyajian tersebut diperlukan untuk menyajikan posisi keuangan entitas syariah secara wajar. (paragraph 52, PSAK No.101,2007)
Berdasarkan aturan tersebut, maka unsur-unsur neraca entitas syariah meliputi aktiva, kewajiban, dana syirkah temporer, hak minoritas, dan ekuitas. Berdasarkan unsur-unsur neraca tersebut apabila dibuat persamaan akuntansi untuk neraca menjadi sebagai berikut:
|
Yang membedakan dengan neraca jenis organisasi konvensional adalah terletak pada “Dana syirkah temporer”. Dana syirkah temporer bukan merupakan kewajiban dan juga bukan ekuitas. Dana syirkah temporer adalah dana pihak ketiga yang dititipkan/diserahkan kepada entitas syariah untuk dikelola tanpa ikatan dari penitip dana atau dikelola secara bebas sesuai syariah. Dengan memperhatikan ketentuan dalam PSAK lainnya penyajian dalam neraca mencakup, tetapi tidak terbatas pada, pos-pos aktiva, kewajiban, investasi tidak terikat, dan ekuitas adalah sebagai berikut: Contoh Neraca Bank Syariah
NERACA
PER 31 DESEMBER 20XX
AKTIVA
Kas |
|
Rp xx |
Penempatan pada Bank Indonesia |
|
Rp xx |
Giro pada bank lain |
|
Rp xx |
Penempatan pada bank lain |
|
Rp xx |
Efek-efek |
|
Rp xx |
Piutang |
|
Rp xx |
piutang murabahah |
Rp xx |
|
piutang salam |
Rp xx |
|
piutang istishna |
Rp xx |
|
piutang pendapatan ijarah |
Rp xx |
|
Pembiayaan mudharabah |
|
Rp xx |
Pembiayaan musyarakah |
|
Rp xx |
Persediaan (aktiva yang dibeli untuk dijual kepada klien) |
|
Rp xx |
Aktiva yang diperoleh untuk ijarah |
|
Rp xx |
Aktiva istihna dalam penyelesaian (setelah dikurangi termin istishna) |
|
Rp xx |
Penyertaan |
|
Rp xx |
Investasi lain |
|
Rp xx |
Aktiva tetap |
|
Rp xx |
Akumulasi penyusutan |
|
Rp xx |
Aktiva lain-lain |
|
Rp xx |
TOTAL AKTIVA
|
|
Rp xx |
KEWAJIBAN |
|
|
Kewajiban segera |
|
Rp xx |
Simpanan : |
|
Rp xx |
giro wadiah |
Rp xx |
|
tabungan wadiah |
Rp xx |
|
Simpanan bank lain : |
|
Rp xx |
giro wadiah |
Rp xx |
|
tabungan wadiah |
Rp xx |
|
Kewajiban lain : |
|
Rp xx |
utang salam |
Rp xx |
|
utang istishna |
Rp xx |
|
Kewajiban kepada bank lain |
|
Rp xx |
Pembiayaan yang diterima |
|
Rp xx |
Keuntungan yang sudah diumumkan tetapi belum dibagikan |
|
Rp xx |
Hutang pajak |
|
Rp xx |
Estimasi kerugian dan komitmen kontinjensi |
|
Rp xx |
Pinjaman yang diterima |
|
Rp xx |
Hutang lainnya |
|
Rp xx |
Pinjaman subordinasi |
|
Rp xx |
TOTAL KEWAJIBAN |
|
Rp xx |
Dana Syirkah Temporer |
|
|
Syirkah temporer dari bukan bank : |
|
Rp xx |
tabungan mudharabah |
Rp xx |
|
deposito mudharabah |
Rp xx |
|
Syirkah Temporer dari bank : |
|
Rp xx |
tabungan mudharabah |
Rp xx |
|
deposito mudaharabah
|
Rp xx |
|
Musyarakah |
|
Rp xx |
TOTAL DANA SYIRKAH TEMPORER |
|
Rp xx |
EKUITAS |
|
|
Modal disetor |
|
Rp xx |
Tambahan modal disetor |
|
Rp xx |
Saldo laba (rugi) |
|
Rp xx |
TOTAL EKUITAS |
|
Rp xx |
TOTAL KEWAJIBAN, DANA SYIRKAH TEMPORER DAN EKUITAS |
|
Rp xx |
Untuk selengkapnya, silahkan dapat dibaca di buku "Memahami Akuntansi Syariah di Indonesia" oleh Slamet Wiyono. Bagi Anda yang ingin membeli langsung kepada penulis, kami dapat mengirim ke alamat Anda. Harga per exemplar adalah Rp 90.000,- (harga baru) plus ongkos kirim. Bagi yang membeli banyak, akan diberikan diskon harga. Terima kasih atas kunjungan Anda, semoga bermanfaat dan menunjang hari yang lebih baik untuk masa depan Anda.
MANAJEMEN WEBSITE
Email: slamet.wiy@gmail.com
Telpon 081285577937; 0859 2011 5738; 085 777 260 444